Malam ke-27
Dulu, Masjid Salman selalu menjadi tempatku beristirahat sejenak dari kegiatan perkuliahan. Tempat ini tidak hanya menjadi tempat sholat, tetapi bisa menjadi tempat belajar bersama teman-teman dan tempat merenung. Tempatnya sejuk dan menenangkan.
Setiap sholat selalu ada ibu yang memastikan saf wanita sudah rapat hingga tidak ada celah sama sekali bagi makhluk ghaib apapun yang mengganggu kekhusyukan shalat. Aku selalu teringat dengan ibu yang sampai sekarang tidak pernah kuketahui namanya itu. Bagiku hanya beliau yang mampu mengemban amanah itu karena yang lain tidak sepeduli beliau. Bahkan ketika mulai sholat dan saf tidak rapat, aku selalu teringat beliau. "Dimana beliau?"
Dulu, saat ramadhan, setiap hari ada makanan berat dibagikan secara gratis. Karena jumlahnya terbatas, hanya beberapa saf terdepan yang mendapatkan makanan tersebut. Akhirnya, setiap orang berlomba-lomba mendapatkan saf terdepan untuk dapat makanan tersebut. Lucunya, meskipun kotaknya sama, isinya bisa berbeda. Betul-betul bagaimana amal keberuntungan. Tapi yang paling nikmat, setelah mendapat makanan tersebut, aku menggelar ponco dan makan bersama teman-teman yang lain di atas lapangan rumput. Tak jarang ada kucing yang menghampiri dan ingin ikut makan bersama.
Di hari tertentu, ada seorang muadzin sekaligus imam yang sangat aku tunggu. Beliau memiliki suara yang khas dan lantunan ayat yang dibacakannya sangat mendamaikan hati. Disinilah kali pertama aku baru memahami bahwa suatu keindahan bisa menarik kepada kebaikan. Setiap kali aku mendengarnya, aku selalu ingin datang untuk sholat berjamaah disana. Beliau dulu masih menjadi mahasiswa di ITB. Sayangnya, saat ini aku hanya pernah melihatnya di jadwal tarawih hari tertentu saja. Aku merasa beruntung pernah mengalami masa di saat beliau masih rutin menjadi imam masjid. Sampai saat ini, belum pernah aku bertemu dengan imam lain yang menandingi suara merdu beliau.
Namun, aku pernah mendengar bahwa mahasiswa membuat kubu politik kampus dengan mengelompokkan politik depan dan belakang. Dimana politik depan adalah mahasiswa yang bergiat aktif di masjid tersebut. Sedangkan, politik belakang adalah mahasiswa dari unit kemahasiswaan yang letak sekretariatnya ada di dekat tunnel menuju Saraga. Padahal masjid untukku tempat yang nyaman untuk beristirahat dan sholat. Tidak berkaitan dengan siapa diriku atau memihak kemana dalam hal politik kampus.
***
Di antara beberapa malam ganjil di Bulan Ramadhan lalu, aku menyempatkan untuk datang. Hal itu benar-benar di luar rencana karena sebelah tempat tinggalku sebenarnya juga sudah ada masjid besar. Tapi, suasananya berbeda dengan di Salman. Saat itu, suasana Salman lebih ramai dari biasanya bahkan sampai aku tidak beranjak dari tempat dudukku selama berjam-jam karena seluruh saf penuh dan bagian belakang terisi barang-barang peserta i'tikaf. Tidak kusangka aku datang di malam ke-27 Ramadhan yang secara statistik bertahun-tahun, pendatang masjid selalu mencapai jumlah tertinggi di malam ke-27.
Di malam tersebut, semua jamaat tidak berhenti berdoa. Ada yang menangis dan memejamkan matanya saat berdoa, mengaji tanpa berhenti, sampai mereka lelah dan terlarut dalam tidur masih menggunakan mukena. Aku tahu orang-orang yang datang sebenarnya sudah diberikan kemampuan oleh Allah secara akademik, secara ekonomi, secara fisik memenuhi kecukupan. Hidup dalam kesejahteraan maupun kesulitan. Namun, tidak bisa ditutupi kita makhluk lemah di hadapan Allah. Bahwa banyak orang dengan ujiannya masing-masing berusaha mencari jalan dan memohon pertolongan tanpa henti. Mengingatkanku bahwa kita tiada daya tanpa Allah dan kuasa Allah di atas segalanya.
Aku baru sadar, dari sekian banyak langkah dalam hidup yg ditempuh, Allah memberikan kesempatan untukku kembali kesini di malam Ramadhan. Menyadarkan bahwa putus asa atau menyerah itu tidak ada dalam islam. Manusia yang memilih untuk berhenti, manusia yang memilih untuk menyerah, sedangkan Allah selalu ada mendorong kita untuk terus melangkah. Mungkin jika aku mengarungi jalan hidup yang lain, aku tidak akan kembali kesini.
Untukku, Ramadhan selalu menjadi bulan terindah karena di malam ke-25 aku dilahirkan ke bumi ini. Aku merasa seperti di-reset ulang menjadi pribadi yang baru seakan terlahir kembali.
Selamat hari raya idul fitri,
Semoga Allah memberkahi amal kita selama di bulan Ramadhan. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar