Bukan Hanya Nila Setitik

Sudah hampir 9 tahun yang lalu, aku pernah dekat dengan seseorang. Kami tidak memiliki hubungan spesial, tetapi kami hampir selalu bersama setiap hari. Aku sudah menganggapnya sebagai sahabatku sendiri, tapi mungkin tidak untuk dia. Mungkin lebih dari itu yang ia harapkan, saat itu. Tidak ada kenangan yang begitu berarti di antara kami, selain belajar bersama. Hubungan kami berjalan dengan baik hingga akhirnya jari jemariku ini merusak segalanya. 

    Ya, aku telah melakukan kesalahan dengan jari jemariku. Aku mengucap kalimat yang sangat menyakitkan yang tidak pernah kupikir akan menyakiti perasaannya. Tidak ada rasa bersalah yang kurasakan setelahnya karena aku berpikir apa yang telah kuucapkan memang jawaban yang jujur. Yang ternyata terlalu jujur hingga membuatnya tidak menyukaiku, mungkin. 

    Setelah beberapa hari berlalu, aku diajak pergi bersama menemani temanku yang ingin membeli alat tulis. Kami menumpaki motor bersama dan sesampainya disana berbincang sedikit tentang 'dia'. Saat itu, aku tidak menceritakan apa yang telah kulakukan, tetapi aku menceritakan segala kebaikannya hingga hal yang tidak kusukai. Saat itu juga, temanku membalas ceritaku, 

"Kok, malah ditolak? Kurang baik apa dia. Dia tuh baik banget. Harusnya kamu bersyukur."

    Setelah kalimat itu terucap, aku menyadari bahwa bukan sekali kalimat itu terlontar dari temanku.. melainkan berkali-kali aku mendengar bahwa ia orang yang baik. Dan aku rasa, disitu pepatah "orang baik tidak perlu menunjukkan dirinya baik" memang ada. Orang-orang di sekelilingnya yang membuktikan dan semua menjawab hal yang sama. Kala itu, aku mulai merasa bersalah dan menyadari hal yang kukira hanya nila setitik ternyata lebih besar dari itu. Buatnya ucapanku bukan hanya nila setitik, tetapi lebih dari itu. Nila setitik itu bukan hanya merusak tetapi meninggalkan bekas. Kebaikan apapun yang aku lakukan setelahnya, tidak akan lagi terlihat seperti dulu tetapi selalu ada bekas yang mengaburkan kebaikan itu dan selamanya seperti itu. 

    Penyesalan itu mulai aku rasakan dan melahap jiwa dengan perlahan. Rasanya sangat melelahkan. Dan seperti pada awalnya jari ini yang memulai, itu semua aku akhiri dengan jari jemariku. Aku tidak sanggup berkata langsung karena takut semakin menyakiti. 

    Mungkin segala kejadian ini tidak ada artinya lagi. Aku tahu dia sudah bahagia menjalani kehidupan barunya dan aku juga sangat bahagia. Tetapi, rasa bersalah ini selalu mengingatkanku untuk senantiasa menjaga lisan. Hingga saat ini, aku masih belajar dan kadang kala mengucap hal yang menyakiti hati orang lain. Ketika itu terulang, akan selalu kuingat kejadian ini. Dia telah memberiku pelajaran berharga meskipun itu harus menyakiti perasaannya.

    Dulu pasti ada kekecewaan yang ia rasakan karena aku tidak mengucapkan maaf secara langsung. Andai ia tahu, itu juga penyesalanku hingga saat ini. Aku belum pernah bisa membuka hati untuk orang lain. Bukan karena aku menyesali kehilangannya, tapi aku takut kejadian yang sama terulang dan menyakiti hati orang lain. Karena bukan perkara mudah untuk selalu bisa menjaga lisan, terkadang setelah tertahan dalam waktu lama justru kata yang terucap akan lebih menyakitkan. 

    Ucapan buatku bukan sekedar curahan hati saja, tetapi luapan energi. Menahan energi sangat membuatku lelah. Mungkin saat itu, dia berpikir aku menyakiti perasaannya. Tapi buatku, aku telah menunjukkan diriku yang sebenarnya dan betapa besar energi yang kutahan selama ini untuk tidak menunjukkan sifatku itu demi menjaga perasaannya. Saat aku menunjukkannya, itu artinya aku percaya penuh dengannya bahwa aku bertemu orang yang dapat memahamiku. Tetapi aku salah. Aku belum bertemu orang itu. 

***   

    Kadang, bukan hanya mulut yang harus kita jaga, melainkan jari jemari ini yang lebih tajam menyuarakan isi pikiran kita. Jari jemari ini tidak memiliki rasa yang sama dengan mulut ketika berbicara dihadapan orang lain. Setajam apapun perkataan yang langsung keluar dari mulut, akan selalu ada penyesalan yang kita rasakan setelah berucap. Karena ada memori yang tersimpan dari gerakan, suara, dan respon yang kita dapat saat kita langsung melontarkan ucapan kita dihadapan orang lain. Tapi, berbeda dengan jari jemari yang tak punya kendali, karena pada naluriahnya seorang manusia tidak berkomunikasi dengan jari. 

   Berbeda dengan sahabat tuli, mereka tahu bagaimana cara menggunakan jari untuk berkomunikasi. Mereka tahu jari jemari itu sangat berharga untuk kehidupannya dan tidak mau menyianyiakan untuk hal yang akan menyakiti orang lain. Karena mereka sudah tahu bagaimana rasanya tidak bisa berucap dengan mulutnya dan tidak bisa mendengar dengan telinganya. Mereka bersuara dengan jari dan mendengar dengan ekspresi. Rasa kepekaan mereka lebih tinggi daripada orang dengan kemampuan indera yang normal. Dan pada akhirnya, keterbatasan yang mereka miliki menjadi keistimewaan yang unik. 

   Tak jarang aku berpikir, kenapa aku seperti ini? Kenapa ucapanku sering menyakitkan? Mungkin salah satunya, aku merasa inferior. Lemah membuatku ingin  menunjukkan aku superior. Karena tanpa itu, orang akan melihatku tidak berdaya dan hanya menuruti perkataan orang lain. Sesungguhnya, aku memperlihatkan diriku yang lemah saat aku berkata hal yang menyakitkan. Tapi, tidak semua orang dapat melihat itu. Mereka hanya melihat dari satu perspektif dan pemikiran yang pendek. 

    Aku butuh orang yang bisa menerima aku dengan karakterku yang "blak blakan" karena buatnya kata itu bukan sesuatu yang harus dirasakan, melainkan sesuatu yang jika tak terucap mungkin ada orang lain yang akan lebih tersakiti atau bahkan dirinya yang menderita. Tidak adil memang, seolah merasa ingin diriku saja yang dimengerti. Tapi, dalam berhubungan, tidak mungkin hal seperti itu terjadi. Bukan berarti diriku yang mudah menyakiti perasaan orang lain adalah orang yang tidak peka terhadap perasaan orang lain. Terkadang aku hanya tidak mengerti bagaimana cara menyampaikannya karena kepekaan sering membuat apa yang ingin kusampaikan tidak bisa dimengerti. Aku tahu bagaimana perasaan seseorang karena aku tahu apa yang sebenarnya ingin dia katakan. Namun seringkali mereka tertahan oleh rasa tidak nyaman, rasa tidak enakan, atau rasa takut menyakiti. Aku tahu ia tidak bisa menyampaikan pendapatnya dan ketika itulah sifatku ini menjadi kekuatan. Suara yang tidak terdengar kini bisa didengar dengan bantuanku yang berani menyuarakan pendapat. 

    Andai diriku tidak seperti ini, mungkin aku sudah memiliki banyak teman karena ucapanku selalu membahagiakan mereka. Namun, andai diriku tidak seperti ini, mungkin aku tidak bisa meraih pencapaianku hingga hari ini. Mungkin aku adalah orang yang selalu takut berbicara dan memilih hanya diam sembari merasakan derita itu sendirian. 

    Aku adalah diriku. Berempati dengan menjaga lisan bukan hal yang tidak bisa dipelajari, itu bisa dipelajari namun membutuhkan waktu. Ada kalanya hal ini menyebalkan dan aku tidak bisa mengontrolnya, tapi di saat itu mungkin omonganku hanya angin. Tidak berisi dan hanya lumpatan. Mungkin ungkapan yang tepat bagi orang-orang sekelilingku saat seperti itu adalah: 

"Jadilah orang yang bodo amat. Anggap saja remotnya sedang rusak. Mau dipencet "off" berkali-kali pun tidak akan berfungsi. Tapi, kalau diketok-ketok sedikit, setelahnya bisa berfungsi lagi. Mungkin saat ini dia sedang berbicara yang menyakitkan. Apapun pendapat orang, apapun masukan orang lain, dan apapun respon kita tidak akan mempengaruhinya. Tapi, ucapan-ucapan itu sendiri yang akan menyadarkannya. Ucapannyalah yang menjadi ketokan remot itu hingga berfungsi kembali. Dia sadar bahwa kata-katanya tidak hanya menyakiti perasaan orang, tetapi juga perasaannya yang menyesal. Kesadaran itu yang kemudian menjadi pembelajaran dan membuatnya menjadi lebih baik."

Komentar

Postingan Populer