Apakah dia orangnya?

Menemukan seorang pasangan hidup yang akan selalu menemani kita sampai akhir hayat bukanlah hal yang mudah. Tidak mudah karena tidak ada yang tahu siapa, kapan, dan bagaimana kita bertemu. Seberapapun besarnya usaha kita, jika belum waktunya, kita tidak dipertemukan. 

Uniknya, pertemuan sering terjadi di saat yang tidak terduga, di saat yang tidak bisa kita prediksi. Saat kita tidak mengharapkan, malah saat itulah kita bertemu.

Setelah bertemu dan menjalani hubungan, tentu banyak hal yang membahagiakan dan ada juga yang membuat sedih. Apalagi menjalani hubungan di usia mendekati 30 tahun di budaya timur sangatlah lekat dengan stigma dan tuntutan orang sekitar. 

"Cepetan nikah.."

"Kalo kelamaan nanti karir sudah terlalu tinggi malah cowo-cowo ga berani deketin"

"Hamil tua nanti banyak risikonya. Gausah lama2"

"Jangan sampe lo telat nikah"

dsb.

Aku tidak menampik hal tersebut. Aku menerimanya karena memang ada hal-hal yang kurasa benar. Namun tetap ada yang kusaring agar tidak menyakiti perasaanku sendiri. Tapi, di saat sudah bertemu orang yang kurasa tepat ternyata tidak menutup rasa keraguanku. Karena lagi-lagi hanya Tuhan yang Maha Mengetahui siapa pasangan hidup kita.

Ini pertama kalinya aku menjalani hubungan alias pacaran. Karena ini pertama kalinya, aku masih banyak mencoba memahami bagaimana berkompromi dengan karakter pasangan yang sangat kontras atau kurang baik. Aku sendiri berkaca bahwa aku belum sempurna dan banyak sekali kekurangan.

Tapi..

Sejauh apa aku harus bisa menerima?

Sampai batas mana aku bisa harus menoleransi?

Apakah aku boleh menuntut sesuatu? Sampai mana batas wajarnya menuntut hal itu?

Apakah harus selalu aku bicarakan? Apakah semua harus aku yang menuntut atau harusnya dia yg peka? 

Apakah orang yg tidak peka itu berarti tidak peduli dengan kita? Atau itu hanya sebuah karakter yg harus selalu aku pahami?

Atau aku terlalu banyak menuntut? 

Apakah validasi bahwa kita adalah pasangannya itu perlu? Haruskah seorang pasangan itu posting untuk memberitahu orang-orang bahwa aku ini pasangannya? Atau tidak posting pun hal yang wajar?

Sejauh mana kita diakui? 

Apakah kata-kata manis itu penting?

***

Ternyata, cinta itu menyakitkan.

Mungkin ikhlas itu seni menyayangi yang paling tinggi. Tapi, aku tetaplah wanita. Hal-hal seperti kata-kata yang mendeklarasikan rasa sayang, kado, ataupun hal-hal yang membuat kita spesial disamping waktu yang diluangkan adalah bentuk nyata yang membahagiakan. Kita tidak punya batas dalam menyayangi. Apalagi dalam budaya timur, kita selalu menghormati laki-laki yang menjadi pemimpin keluarga. Kita dididik loyal dari kecil. Berusaha hidup seimbang antara karir dan keluarga, tapi pada akhirnya keluarga tetap nomor 1. 

Kasih sayang kita sebagai wanita adalah bentuk loyalitas kita. Tapi, kita tidak pernah tahu bagaimana rasa sayang pasangan kita tanpa hal-hal manis yang jarang orang lakukan terhadap orang lain. 

Tak jarang kita membandingkan. Padahal tiap orang punya cara yang berbeda dalam menunjukkan kasih sayang. Aku tahu bukanlah hal yang baik membandingkan seseorang dengan yang lainnya. Namun aku tidak punya tolak ukur.

***

Pertanyaan-pertanyaan itu kadang membuatku menyesal dan menyalahkan diri sendiri. Menurutku, cinta itu tidak ada bentuknya tapi harus dibuktikan. Karena jika tidak, kita akan terus bertanya apakah dia orangnya.

Komentar

Postingan Populer