Mengenang Kembali Perjuangan
Bismillah..
Assalamu’alaikum wr. wb.
Hai bloggers dan pembaca lainnya,
salam kenal. Nama saya Vanodya Sarasvati Trapsilani, biasa disapa Vano.
Alhamdulillah.. rencana saya untuk menuliskan kisah ini akhirnya bisa tercapai setelah
berjuang selama tiga tahun. Sebelumnya, perkenalkan, saya mahasiswi S1 di salah
satu perguruan tinggi negeri di Bandung yang sudah menempuh masa pembelajaran
hingga dua tahun. Berikut ini saya akan menceritakan kisah perjuangan saya
mulai dari kecil. Mungkin agak sedikit panjang, tetapi saya berharap, dengan
membaca ini, readers bisa menangkap setiap pesan dari sebuah proses hidup.
Let’s start..
***
Bukan hal yang mudah mencapai
suatu impian yang harus melalui banyak rintangan. Tapi terkadang, orang lain
melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda, seolah mudah mendapatkannya tanpa
tahu proses yang sebenarnya. Saya contohnya..
Berawal dari
pendaftaran masuk SMA, saya dan keluarga sempat kelimpungan. Pada waktu itu,
tahun 2011, saya baru lulus dari SMP Negeri 3 Cimahi. Jujur saja, kalau kalian
mau tahu, untuk pertama kalinya, saya melalui Ujian Nasional dengan jujur tanpa
menyontek. Dulu waktu SD, saya sering sekali dibandingkan dengan kakak saya
yang dikenal pintar oleh guru-guru—kebetulan kami satu sekolah—dan teman-teman
saya. Bayangkan saja, nilai agama saya saja pernah 50. Peringkat saya mendekati
jumlah murid total dalam satu kelas. Akhirnya, saat Ujian Nasional (UN) tingkat
SD, saya mulai meminta jawaban dan bekerja sama dengan orang lain. Alhasil,
nilai UN saya sangat baik dan tentunya saya sangat senang dengan cara yang
tidak berintegritas. Tapi, tahukan kalian, saya juga sempat gagal masuk SMP
favorit hanya karena hasil tes saya kurang 1 POIN SAJA. Oleh karena kegagalan
pertama saya, semasa SMP, saya habiskan waktu saya dengan banyak bermain dan
istilahnya banyak maksiatnya. Waktu saya terbuang dengan berbagai hal yang
tidak bermanfaat selagi teman saya banyak yang berprestasi di sekolah saya.
Bahkan, saya tidak pernah menceritakan ini kepada orang tua saya, saya pernah
mengalami masalah hingga seluruh pihak sekolah mengetahuinya termasuk
teman-teman saya. Bahkan, gosipnya sudah mewabah sebelum saya mengetahuinya.
Hal itu karena perkataan saya yang bisa dibilang menyinggung orang lain.
Seiring berjalannya
waktu, saya mulai naik ke kelas delapan dan mendapatkan peringkat ke-8 di
kelas, kalau tidak salah. Disitulah saya bangkit dan mulai membangun pertemanan
yang baik. Sahabat-sahabat saya sangat men-support dan mau berbagi. Tapi,
sayangnya, saya agak pilih-pilih untuk berbagi, alias pelit. Tanya saja Tami,
teman sebangku saya dari SD sampai SMP, dia selalu kena tegur dan tidak pernah
saya beri jawaban apapun bahkan tugas-tugas saya. Saya selalu menegurnya agar
jangan menyontek dan tetap berusaha mengerjakan sendiri. Eh... Giliran saya
yang butuh, mau tidak mau, harus timbal balik haha opportunies sekali saya..
Singkat
cerita, saat UN tingkat SMP tiba, saya mulai berupaya sendiri dengan harapan
NEM saya bisa meloloskan saya untuk masuk ke SMA di Bandung. Itu berarti, NEM
saya harus sangat tinggi karena untuk pendaftar dari luar Bandung terdapat
kuota tersendiri. Namun, ternyata jujur itu sangat sulit karena meskipun saya
jujur, hal itu tidak didukung dengan upaya dan doa saya. Upaya yang saya lakukan
masih sangat jauh dari yang seharusnya, ibadah wajib pun masih bolong-bolong.
Rasanya malu jika terlalu berharap, mungkin Allah pun tidak akan memedulikan
saya.
Benar saja,
saat pengumuman NEM, hasilnya memang tak seburuk yang dibayangkan, tetapi nilai
itu tidak cukup untuk mendaftar ke SMA favorit yang saya inginkan di Bandung.
Saat itu, bapak, ibu, dan kakak saya, semua berpencar ke beberapa SMA dan
hasilnya.. saya tidak dapat masuk di semua SMA itu. Akhirnya, sampailah saya di
SMA yang jaraknya terbilang cukup dekat dengan rumah saya. Yap, SMA Negeri 13
Bandung. Tidak terbayang, setelah berkeliling ke SMA-SMA di Bandung, tujuan
akhirnya akan sampai ke sekolah ini. Saya sempat tertawa dan menganggap remeh
karena sekolah ini sangat sering saya lewati tiap ingin pergi ke Bandung dengan
naik angkot. Saya bahkan pernah berkata pada ibu saya, “Hahaha.. gamau lah adek
sekolah disini”. Astagfirullah.. rasanya membayangkan zaman dulu, saya sombong
sekali dan menganggap remeh setiap hal.
Tapi, demi
impian saya, diterima undangan ke UNPAD. Saya rela bersekolah di sana, pikir
saya sewaktu itu. Akhirnya, dimulailah masa-masa labil ala Vano di kelas
sepuluh..
***
Hari pertama,
saya masuk ke gedung sekolah dan melihat sekeliling sekolah. “Sempit sekali,
hanya satu kotak,” gumam saya. Masuknya pun bukan melalui pintu gerbang yang
besar, tapi melalui pintu samping yang sangat kecil dan sangat padat ketika
sudah bel pulang. Saat awal-awal masih Orientasi Siswa (OS), saya bertemu
dengan seseorang—sahabat saya—yang sangat dekat dibandingkan dengan teman-teman
SMA saya yang lain, dia bernama Lillah (PLANO UNDIP ’14). Saya bertemu dan
duduk bersebelahan saat ESQ yang dipandu oleh seorang dokter muda lulusan FK
UNPAD. Dokter itu pernah berkata, kurang lebih seperti ini, “Pegang tangan
teman di sebelahmu dan dia yang akan menjadi sahabat kalian selama
bertahun-tahun.”
Sejak saat
itulah kami berteman baik..
Saya mengalami
banyak masa-masa drama. Masa-masa beger,
labil, ga jelas, pokoknya apalah itu istilahnya. Mungkin saya anak paling
labil di sekolah, anak sinetron yang kalau menangis langsung lari dan
menyendiri. Baru mengahadapi masalah langsung desperate. Banyak sekali masalah-masalah yang aneh menurut saya dan
entah kenapa bisa saya alami sampai selabil
itu. Tapi, sahabatku, Lillah selalu memotivasi dan menjadi pendengar yang baik
untuk setiap masalah saya. Padahal kadang masalahnya tidak penting atau Cuma
mau ngelawak tapi ujungnya tetap garing. Disini, banyak orang luar biasa
yang saya temui. Dan.. saya mulai membuka mata.. melihat bahwa sekolah itu
tidak menunjukkan kualitas seseorang, suatu saat sekolah itu justru nebeng nama kita. Aamiin.. J
Hingga suatu
hari saya dan Lillah mulai membicarakan masa depan..
Kami saling
bertanya, nanti akan melanjutkan studi ke jurusan dan universitas mana. Saat
giliran saya menjawab, saya ingin sekali kuliah di jurusan Planologi atau SAPPK
ITB. Dulu, saya sempat berpikir untuk melanjutkan studi ke jurusan Pendidikan
Dokter (PD), tetapi mimpi saya pupus di tengah jalan karena merasa sudah mengecewakan orang tua dengan
gagal terus masuk ke sekolah favorit. Saya juga mulai realistis dengan fakta
yang ada bahwa kuliah ke PD itu mahal, sedangkan di ITB, bapak saya bilang, disana beasiswa sangat melimpah dan
peluang terbuka lebar untuk memperolehnya. Lain lagi dengan Lillah, dia ingin
meneruskan jejak kakaknya di FITB, tetapi sempat terpikir juga untuk memilih
SAPPK atau FTSL, kalau tidak salah hehe
Singkat
cerita, akhirnya, saya sampai di penghujung semester dua. Orang tua saya
menyarankan saya untuk pindah ke SMA yang cluster-nya
lebih tinggi agar peluang saya untuk mendapatkan undangan lebih besar dan
menurut mereka, saya perlu suasana belajar yang lebih memacu semangat lagi agar
lebih giat belajar. Akhirnya, saya mulai melewati tes-tes untuk pindah sekolah
dan alhamdulillah..
Welcome to
SMAN 4 Bandung!
***
Wah, bukan
main deg-deg-annya. Jadi, anak baru itu hal pertama bagi saya dan itu adalah
hal yang sangat saya takuti. Takut orang-orang menganggap saya aneh, tidak mau
berteman dengan saya, tidak menyukai saya, dan takut dengan lingkungan baru
dengan guru-guru yang berbeda. Tapi, untungnya, saya bertemu dengan seorang
bidadari hahaha Dia adalah Sekar (FK UNSOED ’14). Dia adalah sahabat dekat
Lillah—dunia sempit, ya—dari SMP. Dua-duanya juga cerdas, rajin, dan baik hati.
Sekar adalah sahabat saya mulai dari kelas XI, semenjak saya pindah. Pertama kali saya bertemu
dengannya adalah saat di aula. Saat itu, saya melihat sekeliling dinding aula,
mencari tahu apa kelasku nanti. Tiba-tiba saja ada yang menghampiri saya,
“Vano, ya? Aku Sekar.. nanti kita bareng ya..” dan benar saja kami sekelas
sampai lulus kelas XII. Senangnya duduk sebangku bersama bidadari haha Sekar
itu punya kelembutan hati yang luar biasa. Orangnya sangat sabar, tekun, dan
pintar. Saya salut dengannya. Dia mampu menjadi panutan bagi adik-adiknya.
Sekar adalah salah satu sosok inspiratif saya. Dia membangkitkan semangat juang
saya untuk meraih kembali impian saya untuk menjadi seorang dokter.
Tapi,
persahabatan kami tentunya tidak selalu mulus.. Saya dan Sekar pernah mengalami
suatu konflik dan itu hanya karena masalah ‘terima kasih’.
Waktu itu, Pak
Yudi, guru kimia saya, akan mengadakan kuis untuk kelas XI IPA 7. Namun,
tiba-tiba saja Sekar jatuh sakit. Badannya sangat hangat dan wajahnya memucat.
Sebagai anggota PMR, saya langsung membawanya ke UKS agar dia bisa beristirahat.
Sembari melihat jam karena waktu istirahat sudah mau habis, saya segera
mengurus surat izin dan membuatkan teh hangat untuknya. Tapi, sayangnya, bel
istirahat sudah berbunyi. Saya menunggu Sekar dan ternyata dia sudah tertidur
tanpa mengucap ‘terima kasih’. Akhirnya, saya langsung berlari menuju kelas
karena sudah tidak bisa menunggu. Setibanya di kelas, saya lupa tidak membawa
kalkulator dan akhirnya meminjam ke kelas sebelah. Waktu terbuang beberapa
menit dan saya mengerjakan kuis dengan napas yang terengah-engah. Selepas kejadian
itu, saya menyesal dengan apa yang sudah saya perbuat. Kenapa saya harus
menolongnya? Saya kehilangan waktu karena dia dan saya tidak bisa fokus
mengerjakannya. Dia pun tidak berkata ‘terima kasih’.
***
Beberapa hari
kemudian, saya mendapatkan hasil kuis dan nilainya kurang memuaskan, sedangkan
nilai Sekar yang susulan kuis sangat bagus. Karena emosi, saya berkata kepada
Sekar, “Gara-gara kamu.. Kamu aja ga bilang makasih waktu kamu dianter ke uks,”
Tentu saat itu saya sangat emosi dan labil, tidak terpikir sama sekali bahwa
hatinya tentu tergores sangat dalam. Padahal kalau saya tepat waktu, mungkin
saya tetap tidak bisa mengerjakannya karena soalnya sulit. Betapa sakitnya
sahabatmu berkata seperti itu. Jujur, ini adalah pelajaran terbesar dalam hidup
saya dan sangat membekas bahkan hingga sekarang kami sudah saling
memaafkan—walaupun saya merasa itu semua salah saya menyalahkan orang
lain—kesalahan kami. Namun, setelah itu, saya merasakan sakit yang luar biasa
pada bagian pinggang. Saya pun pergi ke dokter untuk memeriksakannya dan
ternyata saya mengidap skoliosis yang imbasnya pada sakit pinggang yang saya
rasakan. Dokter bilang bahwa hal tersebut bisa disebabkan karena saya berlari
atau pernah cedera. Saat itu, saya harus memakai kursi roda atau tongkat untuk
membantu mobilisasi. Saya sempat tidak mau melihat wajah Sekar karena masih
kesal. Tapi, saya tahu itu sangat sakit. Akhirnya, saya merenungkan apa yang
sudah saya perbuat dan mencoba menceritakannya pada kedua orang tua.. dan
sekarang saya mengerti bahwa..
Menolong itu
adalah perbuatan yang mulia. Apalagi menolong temanmu yang sedang sakit, dia
tentu sangat membutuhkannya. Tapi, tugas kita hanya menolongnya dan tidak
berharap apapun. Karena itu, setiap hal harus dilakukan dengan ikhlas dan
semata-mata karena Allah.
Sungguh,
Sekar, kamu telah memberikan saya pelajaran yang sangat berharga. Karena saya
berlari menolongmu, sekarang saya tahu bahwa saya punya kelainan tulang. Kamu
mencerminkan kesabaran yang tidak ada batasnya. Kamu tetap sabar menunggu saya
walaupun saya tidak pernah mengucap maaf secara langsung. Kamu tidak
menyalahkan saya, tapi kamu tetap setia. Kamu adalah sahabat terbaik yang
pernah kukenal :’)
Tapi, setelah
beberapa lama, saya mendengar kabar yang kurang baik dari Sekar, dia juga
mengidap kelainan tulang dan mungkin lebih parah dariku. Tapi, dia tetap
pantang menyerah, semangat juangnya sangat tinggi untuk menjadi dokter. Saya
pun jadi ikut bersemangat dan saya juga turut mendoakannya untuk bisa mencapai
cita-citanya.
***
Tentunya,
Lillah dan Sekar baru sebagian orang yang memberikan motivasi bagi saya. Tapi,
ada satu orang yang tidak kalah memotivasi. Dia adalah Ahmad (FK UNPAD ’14).
Saya bertemu dengannya saat kelas XII di salah satu bimbel yang ada di Bandung.
Kebetulan, hanya ada sekitar enam orang yang mendaftar di bimbel tersebut
(cabang Jalan Aceh). Hanya ada saya, Ahmad, Levi, Banung, Shiba, dan Erin.
Awalnya, saya hanya sekelas dengan Banung, tetapi kelas kami begitu penuh
dengan wanita. Banung menjadi yang terganteng
di kelas apalagi kalau guru yang mengajar perempuan, tambah ganteng, deh, hari itu hahaha
Nah, akhirnya,
masuklah siswa baru yang pindah dari kelas Selasa-Kamis-Sabtu ke kelas kami,
ITA 1001. Pertama kali saya melihatnya, orangnya nampak pemalu dan sedikit
pendiam, tapi kayak orang pintar (peace Ahmad wkwk). Orangnya sangat rajin
dan sering berkonsultasi dengan guru. Kami tidak begitu dekat sampai akhirnya
saya ngeceng seseorang dan mulai
sering bercakap di dunia maya. Kami mulai dekat dan sering belajar bersama atau
tambahan bersama. Ahmad ini sangat suka mengajari orang, dia dermawan dengan
ilmunya. Setiap saya sampai di bimbel sebelum bel masuk, Ahmad tiba-tiba duduk
di depan saya dan langsung membuka buku. Tidak tahu mau pamer atau apa (wkwkwk),
tapi dia adalah teman belajar yang baik. Di sela-sela kelas, jika sudah adzan,
mau itu ashar, magrib, dzuhur, kapan pun saat adzan sudah memanggil, dia selalu
keluar kelas terutama saat tidak ada guru dan langsung ke mushola untuk sholat.
Padahal kalau tidak ada guru, siswa lain langsung mengambil HP atau mengobrol
dengan teman-temannya.
***
Seiring
berjalannya waktu, saya melihat, Ahmad begitu semangat dan semakin cepat
progressnya. Dia sering datang lebih pagi saat intensif. Bahkan, karena terlalu
pagi, dia sampai belajar di depan bimbel karena pintunya masih dikunci.
MashaAllah, Ahmad.. yang begini, nih, teman-teman haha
Meskipun
semakin lama kami semakin menjauh dan jarang berkomunikasi karena satu dan lain
hal, saya tetap melihatnya sebagai motivator untuk saya. More info, Ahmad
banyak fansnya :D
Oh ya, di
bimbel, saya juga bertemu dengan sahabat saya yang sampai sekarang masih satu
kampus. Yeay, Dhia Shofi (Biologi ITB ’14). Untuk semangat dan energi, dia
selalu ready stock, sis! Selalu ceria
dan bahagia, kadang menyebalkan, tapi melihat Shofi pasti bangkit lagi
semangatnya. Shofi juga rajin dan dia anak ‘muda’. Muda dan pintar, Shof..
Mantaaap!
***
Di samping
itu, saya juga belajar dengan teman-teman dari daerah Kebumen yang mengadakan
bimbel. Jadi, dulu Bapak saya tergabung dalam paguyuban mereka dan saya
diikutkan juga dalam bimbel yang sudah sering mereka adakan tiap tahun.
Waktunya cukup singkat, hanya satu bulan, seperti intensif. Bahkan, saya hanya
ikut kurang dari 7 kali pertemuan.
Saya
berkenalan dengan para pejuang SBMPTN dari daerah Kebumen dan sekitarnya. Kala
itu, saya diajak mengunjungi kontrakkan khusus bagi para siswi. Mereka punya
semangat yang luar biasa, berdoa tiada henti, tidak lelah bertanya, dan
soal-soal dibabat habis. Salut untuk
teman-teman! Saya tidak menyangka orang lain berusaha hingga sekeras itu. Saya
sangat sedih ketika ada salah satu teman saya yang sakit saat itu, ada pula
yang menyisipkan foto kampus impiannya di sela-sela Al-Qur’an. Dia selalu
memejamkan matanya dan berdoa sembari menempelkan foto itu ke wajah atau
dadanya. Saya terharu.. Jika dibandingkan dengan saya, apa yang saya lakukan
mungkin bukan apa-apa. Saya sadar, saya sangat tinggi hati, mementingkan diri
sendiri, dan sangat manja. Rasanya, Allah memang ingin mempertemukan saya
dengan mereka dan menunjukkan perjuangan mereka.
***
The Day!
Pengalaman SBMPTN pertamaku..
Hari demi hari
sudah dilalui dan tak terasa sudah hari H SBMPTN. Deg-deg-an karena disini
kondisinya sudah bukan SNMPTN (saya ditolak SNMPTN juga hehe), tapi SBMPTN, tes
tertulis yang benar-benar menguji kemampuan mental dan kesiapan pemahaman kita
selama belajar di SMA dan bimbel intensif bagi yang mengikuti.
Pada hari itu,
saya berangkat pukul lima pagi dengan diantar kedua orang tua. Saya mendapat
lokasi ujian di Univ. Widyatama dekat Jalan Suci. Rasanya sangat tegang apalagi
saat melihat teman di sebelah saya masih membaca rangkuman.
Tibalah
saatnya, bel berbunyi, tanda masuk ruangan. Saat pengerjaan soal, baik sesi
SAINTEK maupun TKPA, kami yang berada di ruangan tersebut tidak diperbolehkan
untuk menggunakan jam tangan baik analog maupun digital. Oh ya, kalian pasti tahu, di lokasi ujian
saya, meja yang digunakan adalah meja mahasiswa yang super duper kecil dan alat
tulis mudah sekali terjatuh. Wah, apalagi saya juga menahan buang air kecil.
Rasanya sudah tidak bisa fokus, teman-teman. Pasrah saja dengan Yang Maha
Kuasa.
Jeng.. jeng..
coret coret coret.. Tiba-tiba, pengawas mencoret papan dan menggambarkan sisa
waktu yang tersisa, tinggal 45 menit! Bahkan setengah dari soal belum saya
kerjakan. Akhirnya, saya kebut
mengerjakannya dan beberapa nomor diisi dengen menebak saja.
Selesai sesi
SAINTEK, ada sesi istirahat singkat dan masuk kelas lagi untuk menjalani sesi
kedua, yaitu TKPA. Karena sudah dua tahun yang lalu, saya sudah lupa
mengerjakan berapa banyak, tapi kira-kira ada lebih dari 105 soal yang saya
kerjakan (target setiap TO di bimbel selalu 105).
AKHIRNYAAA
SBMPTN SELESAI!
Tapi, langkah
saya belum selesai. Saya pergi menaiki kereta menuju Jogja untuk tes UTUL UGM.
Bersama bapak saya, kami berangkat ke lokasi ujian di Fakultas Peternakan UGM.
Saat itu, suasananya sangat ramai dan banyak sekali yang mengikuti UTUL UGM di
Jogja padahal saat berkenalan, mereka berasal dari Jakarta, Depok, Bandung juga
ada.. Wah, semangatnya luar biasa. Padahal tempat ujian di daerah Jakarta juga
ada, lho.
Soal UTUL UGM
ini cukup banyak dan melelahkan. Ada
tiga jenis soal yang diujikan, SAINTEK, TKDU, dan TPA. Soal SAINTEK dan TKDU
boleh dibawa pulang, sementara soal TPA tidak diperbolehkan untuk dibawa
pulang. Ketiga soal-soal tersebut diujikan dalam satu hari. Kurang lebih, tes
dimulai dari pukul 08.00 WIB dan selesai pukul 14.00 WIB. Pusing? Banget. Untungnya, soal TPA UTUL UGM
tidak melibatkan sistem minus. Jadi, kalau sudah kepepet dan tidak tahu
jawabannya, cara mudahnya, tembak saja jawaban yang terdekat dengan jawaban soal
sebelumnya.
Alhamdulillah
UTUL selesai..
Dan mulai
menunggu...
Menunggu....
Menunggu.....
Men..
...
***
Tibalah hari
pengumuman SBMPTN,
Pengumuman
pertama itu unik sekali. Jadi, saat itu, saya bersama Shofi dan teman-teman
termasuk alumni datang ke bimbel untuk melihat pengumuman bersama. Sebenarnya
tidak semata-mata untuk pengumuman, tapi saya dan Shofi memang sedang persiapan
untuk UM UNDIP. Mendadak, ada salah seorang alumni yang mengatakan bahwa
website pengumuman SBMPTN sudah bisa diakses sebelum waktunya, alias bocor,
entah apa sebabnya..
Beberapa kali,
saya mencoba membuka lewat handphone pribadi
agar bisa melihat tanpa diketahui orang lain (takut malu kalau tidak lolos).
Tapi, berulang kali hasilnya masih countdown.
Karena tidak sabar, kebetulan saja, alumni tersebut menawarkan diri untuk
melihat pengumuman menggunakan handphone-nya.
Nah, saya yang menjadi kelinci percobaannya.. hahaha
Setelah input
nomor peserta dan tanggal lahir, saya langsung menjauh dan tidak ingin melihat.
Saya sangat yakin bahwa saya tidak akan lulus. Dan ternyata..
“Vanodya
Sarasvati.. Diterima di Sekolah..,” ucapnya
Belum selesai,
saya langsung memotong perkataannya dan langsung bertanya “Serius??? Serius???
Sekolah apaa?”
Btw, sepertinya, print screennya sudah hilang, tapi kalau tidak
salah, disebelah kiri ada barcode dan disebelah kanannya ada tulisan seperti
ini:
Selamat, Vanodya
Sarasvati Trapsilani
Diterima di Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati Program Rekayasa
Institut Teknologi
Bandung
Wah, saya
langsung menangis dan sedih karena ternyata Allah masih memberikan saya
kesempatan untuk bisa kuliah tahun ini. Tapi, meskipun sudah diterima, saya
masih berharap bisa lolos UTUL UGM dan UM UNDIP.
Ternyata oh,
ternyata, Allah punya rencana lain. Rupanya, memang ini jalan saya. Saya harus
menjalani kuliah di SITH. Alhamdulillah.. saya tetap bersyukur.. Allah
mengabulkannya dengan cara lain..
***
Selepas
pengumuman, saya mulai menjalani masa penyambutan maba (OSKM), menjalani
perkuliahan TPB, dan masih banyak lagi aktivitas di luar kewajiban akademik. Di
lain waktu, semoga saya bisa menceritakan tentang berbagai hal yang saya dapat
di ITB hehe.. Mari kita persingkat..
***
Setelah
menjalani TPB selama setahun, muncul kembali rasa ingin mencoba SBMPTN dan
tes-tes lain karena dasar dari TPB sudah kuat dan melekat sampai kata saya mah ngolotok
(tidak tahu benar apa salah kalau basa sundanya). Akhirnya, saya mencoba
peruntungan kembali karena masih penasaran. Sayangnya, karena merasa sudah
‘dewa’, saya justru kepedean.
Padahal, kala itu, saya masih disibukkan dengan menjadi panitia lapangan OSKM,
diklat divisi, dan panitia wisuda Juli. Saya hanya belajar menghapalkan Biologi
saja karena hanya itu yang tidak saya dapat di TPB. Selain itu, saya sangat pede diterima tahun 2015.
Nah, saat
datang hari H, jeeeeengggg.....
Mampus.. Saat
itu, sepertinya, Allah senang sekali sedang mengerjai saya. Saya benar-benar BLANK! Menentukan pH yang rumusnya
sederhana sekali saja tidak terpikir. Semua materi biologi yang sudah saya
hapalkan tiap malam tidak ada yang keluar, kalau ada pun sudah lupa hahaha.
Matematika IPA yang bisa saya kerjakan hanya satu soal. Panik? Pasti.
Pada akhirnya,
tes sudah terlewati. Saya sudah pasrah sambil berjalan cari angkot dengan wajah
muram tiada harapan. Saya hanya bisa berharap dan berupaya terakhir kalinya
untuk mengikuti UM UNDIP. Saat itu, saya tidak ikut UM UGM karena bentrok dengan kegiatan organisasi di
kampus.
Karena
pengalaman yang sudah saya alami di SBMPTN 2015 kurang menyenangkan, saya
mencoba memaksimalkan persiapan untuk UM UNDIP. Saya perhatikan, UM UNDIP itu
selalu ada pola soal dan tingkat kesulitannya sedikit di atas UN tingkat SMA.
Alhamdulillah.. saya bisa menjalani dengan tanpa beban dan sangat enjoy.. Saya lebih pede bisa diterima di PD UNDIP 2015.
***
Saat
pengumuman SBMPTN 2015, saya menunggu dengan penuh harapan, semoga ada
keajaiban dari Allah. Namun, Allah berkata lain.. yang keluar hanya kata
“Maaf..” dan beberapa patah kata yang intinya memberitahukan bahwa saya tidak
diterima. Saya menangis di depan komputer, lalu ibu saya menghampiri dan
memeluk saya. Saya merasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Lalu, saya menunggu pengumuman UM UNS. Saya mencoba UM UNS untuk kedua kalinya dan tidak lolos ke PD juga. Setelah itu, pengumuman UNDIP
yang selisih beberapa hari dengan pengumuman SBMPTN menunjukkan hal yang sama,
ditolak di PD. Tapi, Alhamdulillah saya diterima di Planologi UNDIP. Saya mulai
galau, bertanya kesana kemari
termasuk kepada teman satu angkatan saya di ITB. Kala itu, saya sudah
penjurusan dan mulai bingung untuk memilih. Mana yang harus saya tinggalkan..
Tapi,
akhirnya, Lillah, sahabat saya, mengingatkan,
“Kamu kan, sudah janji.. kalau dapet fk mau
diambil, kalo engga katanya ga diambil. Ya, kalo
memang begitu, yaudah gausah
diambil..”
Akhirnya, saya bulatkan tekad
untuk tetap menjalani kuliah di jurusan saya sekarang.
***
Semester 3..
saya lalui dengan baik dan Alhamdulillah Allah memberikan kelancaran dan
kekuatan dalam menghadapi segala ujiannya. Pada semester ini, justru Allah
memberi lebih, Alhamdulillah nilai saya berprogress sangat baik. Perkuliahan di
semester 3 ini juga terbilang belum padat, tapi seperti masa transisi dari TPB
ke jurusan.
Suatu hari,
liburan akhir semester 3 (ganjil), om saya datang berkunjung ke Cimahi. Beliau
datang jauh-jauh dari Semarang bersama istrinya, almarhum Pak de juga datang
berkunjung ke Cimahi. Saat itu, kami sedang berbincang-bincang tentang kuliah
saya. Keluarga besar dari Ibu saya memang sangat tahu tentang diri saya karena
Ibu sangat komunikatif dan selalu menceritakan apapun dengan keluarganya. Jadi,
mereka juga tahu bahwa saya mencoba tes masuk PTN lagi. Tapi, saat saya
mengatakan bahwa tidak akan mencoba lagi, om saya bertanya-tanya dan
menyayangkan hal itu.
“Lho... Dokter itu kan masih banyak
dibutuhkan.. Indonesia ini masih sangat membutuhkan
jasa dokter lho, dek.., “
ujarnya
“Oh.. gitu ya om..” jawab saya sembari
mengangguk
“Lah iya tho...!“
Begitulah
sedikit cuplikan percakapan kami. Walaupun terdengar sederhana, hanya karena
kata-kata singkat itu, saya jadi berpikir ulang dengan kata-kata tersebut. Ini
adalah tahun terakhir saya bisa mencoba.. Ini adalah kesempatan emas.. Tidak
ada yang tahu, upaya ke berapa yang akan berhasil. Mungkin saja, Allah akan
mengabulkannya di tahun ini.
Akhirnya, saya memutuskan untuk
mencoba SBMPTN kembali.
To be continued....
Komentar
Posting Komentar